Rabu, 11 Februari 2009

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

Annisa kesal, keinginannya belajar berkuda ditentang ayahnya. Dilarang mengeksplorasi kemampuan diri sendiri dalam banyak segi oleh sang ayah membuatnya kerap mengajukan protes atas keistimewaan yang didapat kedua kakak laki-lakinya. Alih-alih diizinkan kuliah sekedar di jogja saja, Annisa malah dipaksa menikah dengan seorang laki-laki yang tidak dicintainya. Dikira seorang lelaki sholeh lantaran anak Pak Haji kaya raya yang pintar ilmu agama, nyatanya hanyalah musang berbulu domba. Kelihatannya punya akhlak mulia padahal otak dan mulutnya penuh fikiran dan perkataan sampah. Annisa pun jadi bulan-bulanannya. Tak hanya kekerasan dalam rumahtangga yang dialaminya. Masyarakat bahkan turut menghakiminya ketika sang suami malahan menghamili gadis lain. Kata mereka, bila saja istri dirumah bisa melayani suami dengan baik, manalah mungkin suami melirik wanita yang lain.

Maka ketika Annisa mengetahui cinta sejatinya telah kembali dari menuntut ilmu di sebuah Universitas terkenal di Kairo, Annisa mulai lebih banyak menghabiskan waktu dirumah orangtuanya. Tak hanya agar bisa bertemu sang arjuna, juga demi menghindari kebersamaan dengan suami yang tengah berbangga hati dengan anak dari istri keduanya. Konflik mulai bertambah rumit. Suami Annisa memergoki istrinya tengah berduaan dengan seorang laki-laki disebuah gubuk yang sunyi. Tanpa tedeng aling-aling segera saja ia menuduh Annisa berzina dan menceraikannya dihadapan banyak orang termasuk kedua orangtua Annisa. Saking shocknya, ayah Annisa sampai terkena serangan jantung dan langsung meninggal dunia. Annisa terpukul dan melarikan diri ke Jogjakarta. Mengejar cita-cita lamanya menjadi seorang wanita terpelajar yang mandiri dalam status janda yang ternyata malah memberikan Annisa sebuah kebebasan. Bebas menguasai dirinya sendiri setelah seumur hidupnya dikuasai oleh ayah dan lalu suami. Bebas menentukan langkahnya sendiri. Bebas melakukan segala yang Annisa inginkan dalam kehidupannya sendiri. Kebebasan yang begitu mahal dan sulit dimiliki oleh seorang perempuan atas nama agama Islam.

Kisah Annisa dalam film Perempuan Berkalung Sorban garapan sutradara muda berbakat Hanung Bramantyo sengaja aku cukupkan sampai disini. Karena buatku bagian kisah ini yang menarik untuk kudalami. Teringat masa kecil yang dilewati dalam asuhan seorang ayah yang cukup keras menetapkan apa yang harus dan tidak boleh kulakukan. Agak serupa dengan yang dialami oleh Annisa meskipun banyak pula yang tak sama. Teringat pula bahwa kebebasan versi ku pun harus kuperoleh dengan jalan pernikahan. Bedanya dengan Annisa yang ditentukan jodohnya oleh sang ayah, aku lebih beruntung diberi kebebasan oleh ayahku untuk menemukan sendiri jodohku.

Melihat kisah Annisa dan perjalananku, mungkin juga kisah serupa dialami oleh mayoritas muslimah saudariku yang lain. Kebebasan atas diri sendiri ini mengapa begitu sulit kita miliki. Annisa harus menjadi janda tanpa ayah pula untuk mendapatkan kebebasannya. Aku harus menikah untuk mendapatkan kebebasanku. Apakah kita wanita ini adalah mahluk yang sedemikian sulit dipercaya sehingga kita tidak diperkenankan bertanggungjawab terhadap diri kita sendiri? Mengapakah harus selalu ada ayah, saudara laki-laki, paman atau suami yang diatur untuk menjadi penjaga ataupun penanggungjawab dari diri kita ini? Bukankah setiap manusia sama di mata Tuhannya? Dan bukankah setiap manusia mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya? Bukankah dosa itu tidak bisa main titip begitu saja atau dengan kata lain dilimpahkan pada orang lain? Ini pun andai yang kita perbuat itu dosa loh.

Kita sebagai wanitakah yang salah bila laki-laki jadi tergoda birahinya kala melihat kita? Bukankah birahi itu adalah milik pribadi si lelaki bukan birahi milik kita? Jadi mengapa seolah-olah wanita yang dipersalahkan atas fikiran kotor yang mengisi otak lelaki. Aku membahas hal ini karena aku melihat kecenderungan sebab mengapa wanita dijaga sedemikian rupa oleh para walinya, adalah dikarenakan kehormatan wanita terletak pada bagaimana wanita terjaga tubuhnya. Padahal sebenarnya bila lelakipun dapat menata fikiran dan mengendalikan birahinya sendiri sesuai tempat kehalalan yang semestinya, maka rasanya tak perlulah wanita dijaga sedemikian repotnya.

Penjagaan seperti ini kerap membuat wanita tercabut kebebasannya. Sementara kebebasan buat wanita sangat diperlukan dalam rangka mencerdaskan fikiran, menggali potensi diri dan mengembangkan kemampuan pribadi yang kesemuanya itu adalah bagian dari perwujudan mensyukuri anugerah Ilahi yang diberikanNya pada diri kita ini.
Gemas juga aku ini melihat wanita secerdas dan sekritis Annisa harus dipasung intelektualitasnya. Betapa banyak waktu mudanya tersia-sia dalam sebuah pernikahan penuh tekanan. Belum lagi memperhatikan guru-guru ditempatnya menuntut ilmu yang tidak mampu memberikan jawaban yang cerdas atas pertanyaan kritis yang diajukan Annisa, eh malah melarang Annisa membaca buku-buku referensi lain demi menemukan jawabannya sendiri. Bila saja wanita bisa lebih bebas belajar apa saja dari kecilnya. Bila saja wanita dapat mengeksplorasi kemampuannya sedari ia masih begitu muda. Bukankah di masa dewasanya akan tercipta wanita-wanita pintar yang punya kemampuan untuk menata kehidupan dan masa depannya sendiri tanpa tergantung dan bergantung pada orang lain alias mandiri. Bukankah hal ini sangat diperlukan dizaman sekarang ini yang penuh tantangan demikian keras, berjuang demi sesuap nasi. Bukankah tak sepenuhnya lagi perekonomian menjadi beban dan tanggung jawab suami. Apabila kesempatan mendatangi para istri, bukankah hak mereka jua untuk memutuskan sendiri. Apalagi bila ingat masa depan penuh tantangan yang jauh lebih sulit, bukankah ibu yang cerdas amat diperlukan untuk mencerdaskan buah hati. Kalau kebutuhannya sudah sedemikian mendesak begini, perlukah wanita dijaga sedemikian rupa hingga memasung kebebasannya.

Mengapa tak dikembangkan pola fikir yang lebih sehat atas masalah birahi laki-laki. Mengapa tak diberikan kepercayaan penuh tanggungjawab pada para wanita masa kini, sedari kecil agaknya lebih baik. Dan janganlah memakai alasan agama lagi. Karena sejatinya Islam adalah agama yang membebaskan, menyelamatkan dan membahagiakan para pemeluknya. Bila pun ada yang menyimpangkan ajaran agama, itu perbuatan masing-masing individu yang mengatasnamakan agama. Jangan lupa peran budaya masyarakat kerap turut andil didalamnya.

Tak satupun ayat dalam Al Qur’an yang menyatakan ada pembatasan pembelajaran ilmu untuk wanita. Bila tak jua percaya bacalah riwayat hidup sufi wanita Rabi’ah Al Adawiyah. Kemampuannya menguasai ilmu agama mensejajarkannya bahkan acapkali meninggikan kedudukannya diatas sufi laki-laki yang begitu banyak. Bukankah Allah SWT sendiri hendak memberi contoh pada kita manusia melalui kisah hidup Rabi’ah Al Adawiyah, bahwa sejatinya apa yang dicapai pria dapat pula dicapai oleh kaum wanita. Karena bila bukan Allah SWT yang berkehendak, tak mungkinlah ada seorang Rabi’ah Al Adawiyah.

Aku adalah seorang wanita, muslimah, ibu rumahtangga, istri dan ibu. Aku juga adalah seorang musafir haus ilmu. Mendampingi suami adalah tugasku. Mendampingi berarti berada disampingnya, bukan dibawahnya. Suamiku adalah Imamku. Itulah ajaran agamaku yang tak hendak kuperdebatkan dan kupertanyakan melainkan kuturuti dan kusetujui. Itu adalah aturan dari Tuhan yang disampaikanNya melalui RasulNya yang kujunjung dan kuharap syafa’atnya. Suami yang baik adalah yang membebaskan istrinya menjadi dirinya sendiri dan bahagia atas dirinya sendiri. Suami yang terhormat adalah suami yang menghormati istrinya lantaran sang istri adalah pakaiannya pula. Suami yang berani adalah suami yang tak pernah takut akan kalah pintar dari istrinya. Dan suami yang bijaksana adalah suami yang tahu persis bahwa kebahagiaan istrinya akan memberikan kebahagiaan pula untuknya dan rumahtangga mereka. Karena pernikahan itu isinya adalah dua orang, maka definisi kecil inipula yang berlaku sebaliknya pada sang istri.

Syukurlah film Perempuan Berkalung Sorban ini dibuat dan ditayangkan diseluruh negeri. Meski ada beberapa bagian yang kurasa tak lagi sesuai dengan masanya – seperti, di era akhir 90-an masihkah ukhti-ukhti dipesantren itu dilarang membaca buku secara berlebihan sementara dimasa yang sama ada peng-adegan-an lain menggambarkan teman pesantren Annisa memilih menjalani kumpul kebo dengan rekan mahasiswanya secara demikian cueknya dan terbuka. Paling tidak film ini secara tersurat meminta masyarakat membuka mata hati dan fikirannya atas pola didik bagi anak-anak perempuannya agar dapat menjadi lebih maju dan terbuka dan tidak lagi memberikan tekanan-tekanan atas nama agama.

Islam adalah agama yang penuh kelembutan. Seorang muslim yang melakoni ajaran agamanya secara kaffah dan istiqomah seharusnya bisa mendidik anak-anak perempuannya dengan penuh kelembutan, memperlakukan pula istrinya dengan penuh kasih sayang, mampu mengendalikan diri dan menjauhi hidup yang mengedepankan kekerasan apalagi kekasaran. Bila keras adalah karakter seorang manusia, maka Islam datang untuk melembutkannya. Siapapun menyukai kelembutan. Begitulah Islam agama hamba. Janganlah lagi atas namakan Islam atas perbuatan tak indah yang hendak dilakukan. Yang buruk adalah manusianya, bukan agamanya. Yang mengkungkung adalah orangnya, karena agama malah membebaskannya.

Jadilah muslimah sejati, yang pandai memahami dan taat menjalani aturan Allah SWT dan sunnah Rasul, yang bebas bertanggungjawab dalam berkreasi, senantiasa mengeksplorasi diri, mampu menjaga amanah dan paling depan dalam membantu sesama, bermanfaat buat masyarakat, menjadi anak yang berbakti pada orangtua serta menjadi cahaya penerang yang berpijar indah di istana mungil kita.

Desy Andriani
Penulis
Pemilik Blog: http://desyandriani.wordpress.com

1 komentar: